BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi ini,
pelaksanaan dalam dakwah tidaklah hanya melalui proses penyampain diatas mimbar
saja, dan melalukan perjalan seperti halnya yang telah Rasulullah laksanakan,
melainkan dengan hanya memanfaatkan kecanggihan teknologi kita dapat melaksanakan
dakwah secara efektif dan efesien.
Pada hakikatnya dakwah
adalah upaya mengajak manusia untuk bersedia mengenal Allah secara baik dan
benar artinya tidak hanya terbatas pada mengetahui Allah dan Rasul- Nya semata,
lebih jauh lagi mampu menghayati dan menghadirkan Allah dalam segala aktivitas
yang kita kerjakan sehingga kita mendapat kebahagian di dunia dan akhirat
kelak.
Dakwah persuasif adalah
upaya yang bersifat membujuk secara halus supaya menjadi yakin dalam hal yang
hendak disampaikan oleh para da’i tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
dakwah dan tujuannya ?
2.
Apa pengertian
dakwah persuasif ?
3.
Dakwah persuasif
dalam perspektif al-Quran.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Tujuan Dakwah
Dakwah berasal dari
kata da’a yang berarti memanggil, mengundang, menyeru, ajakan dan himbauan.
Selain kata dakwah ditemukan beberapa kata yang memiliki makna yang sama atau
hampir sama dengan dakwah, diantaranya adalah tabligh, nasihat, tarbiyah,
tabsyir dan tandzir.
Dari berbagai definisi
yang diberikan para pakar dakwah, ditemukan keragaman dalam pendefinisian
dakwah. Dakwah adalah usaha mempengaruhi orang lain agar bersikap dan
bertingkah laku seperti apa yang didakwahkan oleh da’i. Dengan demikian dakwah
Islam adalah upaya mempengaruhi orang lain agar bersikap dan bertingkah laku
secara islami. Ilmu dakwah adalah mengajak manusia dengan bijaksana kepada
jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah, untuk kemaslahatan dan
kebahagian mereka didunia dan di akhirat.
Dakwah sebagai ajakan
akan membuat menusia tertarik kepada ajakan kita jika tujuannya menarik. Oleh
karena itu, da;i harus bisa merumuskan tujuan kemana masyarakat akan diajak.
Ada dua tujuan, yaitu tujuan makro dan tujuan mikro. Tujuan makro cukup jelas,
yaitu mengajak manusiakepada kebahagian dunia akhirat. Da’i dan mubaligh pada
umumnya tidak pandai dalam merumuskan tujuan mikro, tujuan jangka pendek yang
mudah terjangkau, yang menarik hati masyarakat.[1]
Dilihat dari segi
perbuatan maka tujuan dakwah tersebut dapat dibagi menjadi, yaitu menunaikan
amanat, menegakkan hujjah dan dalil-dalil kebenaran dan selanjutnya
menyelamatkan umat dari kehancuran.
a. Prinsip Dakwah
Dalam melaksanakan
dakwah di Mekkah dan Madinah, nabi Muhammad memiliki beberapa prinsip yang
senantiasa dilakukannya. Prinsip-prinsip dakwah tersebut sangat membantu dalam
mendukung pelaksanaan tugas-tugas kerasulan yang di emban. Pada dasarnya
prinsip dakwah sangat bergantung pada situasi dan kondisi masyarakat yang
dihadapinya.
Rasululah tahu kapan
dia harus belaku tegas, keras dan bersikap lemah lembut, sehingga setiap
keputusan terbaik dan menyenangkan semua pihak. Disaat-saat tertentu ia tegas,
tetapi disaat yang lain dia fleksibel. Semua itu merupakan suatu bentuk sikap
yang mendukung setiap aktivitas dakwah di kedua tempat tersebut. Adapun
prinsip-prinsip dakwah Rasul :
·
Bertahap
Yang
dimaksud bertahap adalah bahwa dalam mengembangkan ajaran Islam tidak dilakukan
sekaligus, namun secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, disesuaikan
dengan keadaan masyarakat atau individu yang dihadapi.
·
Tidak
Memberatkan
Prinsip
ini memiliki hubungan dengan prinsip yang pertama. Salah satu konsekuwensi
logisnya adalah Islam menginginkan adanya kemudahan bagi pemeluk-pemeluknya.
Islam tidak menghendaki kesulitan bagi orang yang menjadikannya sebagai
tuntunan kehidupan, sebagaimana anjuran Rasulullah kepada para da’i agar
emberikan kemudahan kepada manusia yang dihadapi.
·
Fleksibel
Prinsip
ini menggambarkan bahwa Islam memiliki keluwesan dan kelenturan, tidak kaku dan
mengikat kebebasan manusia dalam berpikir, berkarya dan menciptakan. Hal ini
juga mengindikasikan bahwa Islam mendorong pemeluknya agar berkarya,
beraktivitas untuk mengembangkan segenap potensi yang ada pada dirinya.
·
Absolut
Berbeda
dengan prinsip fleksibel, prinsip ini lebih menekanka kemutlakan Islam terhadap
pemeluknya, tidak ada alasan untuk menolak atau menerima sebagiannya saja. Tiap
pribadi yang mengaku Islam harus tunduk dan patuh pada setiap ketetapan yang
telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya. Pada tataran ini dakwah harus diterima
oleh setiap manusia kapan dan dimana saja ia berada.[2]
b. Metode Dakwah
Metode dakwah
adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i ( komunikator ) kepada mad’u untuk
mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang. Hal ini mengandung
arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan human oriented
menempatkan penghargaan yang mulia atas dirinya manusia.
Artinya
:” serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. ( an-Nahl : 125 )
Dari
ayat tersebut dapat diambil pemahaman bahwa metode dakwah itu meliputi tiga
cakupan, yaitu :
·
Al- Hikmah
Al-
Hikmah merupakan kemampuan dan ketetapan da’i dalam memilih dan menyelaraskan
teknik dakwah dengan kondisi obyektif mad’u. Al – Hikmah merupakan kemampuan
da’i dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yanga ada dengan
argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, al-Hikmah
sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis
dalam berdakwah.
·
Al- Mau’idza
Al-Hasanah
Mau’idzatul
Hasanah mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam Qalbu dengan penuh kasih
sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar atau
membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati
seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan qalbu yang liar, ia
lebih mudah melahirkan kebaikan dari pada larangan dan ancaman.
·
Al- Mujadalah
Bi-al-Lati Hiya Ahsan
Al-Mujadalah
merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang
tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang
diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan
yang lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang
kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman
kebenaran tersebut.[3]
c. Peluang
Keberhasilan Dakwah
Keberhasilan suatu dakwah dimungkinkan oleh berbagai
hal, yaitu :
1. Kemungkinan
pertama karena pesan dakwah yang disampaikan oleh da’i memang relevan dengan
kebutuhan masyarakat, yang merupakan satu keniscayaan yang tidak mungkin
ditolak, sehingga mereka menerima pesan dakwah itu dengan antusias.
2. Kemungkinan
yang kedua karena faktor pesona da’i, yakni da’i tersebut memiliki daya tarik
personal yang menyebabkan masyarakat mudah menerima pesan dakwahnya, meski
kualaitas dakwahnya boleh jadi sederhana saja.
3. Ketiga
karena kondisi psikologi masyarakat yang sedang haus akan siraman rohani, dan
mereka terlanjur memiliki persepsi positif kepada da’i, sehingga pesan dakwah
yang sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh masyarakat dengan
penafsiran yang jelas.
4. Kemungkinan
yang keempat, adalah karena kemasan yang menarik. Masyarakat yang semula acuh
tak acuh terhadap agama dan juga terhadap da’i setelah melihat paket dakwah
yang diberi kemasan lain ( misalnya : kesenian, stimulasi, atau dalam
program-program pengembangan masyarakat ) maka paket dakwah itu berhasil
menjadi stimulasi yang menggelitik persepsi masyarakat, dan akhirnya mereka pun
merespon secara positif.[4]
B. Dakwah Persuasif
Salah satu pusat
perhatian Psikologi Dakwah bagaimana dakwah itu bisa dilakukan secara persuasif.
Efektifitas suatu kegiatan dakwah memang berhubungan dengan bagaiman
mengkomunikasikan pesan dakwah itu kepada mad’u, persuasif atau tidak. Dakwah
persuasif adalah proses mempengaruhi mad’u dengan pendekatan psikologis,
sehingga mad’u mengikuti ajakan da’i tetapi merasa sedang melakukan sesuatu
atas kehendak sendiri.[5]
a.
Unsur-unsur
Pembentuk Persuasif
Kondisi Psikologis
mad’u yang berbeda-beda menyebabkan tingkat pendekatan persuasif dalam
berdakwah juga berbeda-beda. Namun untuk mencapai dakwah yang persuasif jelas
ada unsur yang mendukungnya. Unsur-unsur yang meneyebabkan suatu dakwah itu
peruaif atau tidak, dapat berasal dari :
1.
Pesona Da’i
Sosok da’i yang
memiliki kepribadian sangat tinggi dan tidak pernah kering jika digali adalah
pribadi Rasulullah sendiri. Kepribadian Rasulullah dapat dilihat pada
pernyataan al-Quran, pengakuan Rasul sendiri dan kesaksian para sahabat yang
mendampinginya.
Dalam
al-Quran disebutkan bahwa Rasulullah adalah teladan utama :
Artinya :” sesunnguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu ( yaitu ) bagi
orang yang ( rahmat ) Allah dan ( kedatangan ) hari akhir, dan dia banyak
menyebut Allah ( Q.S. al-Ahzab : 21 )
Untuk membuat suatu
dakwah itu persuasif, pertama-tama seorang da’i itu harus memiliki
kriteria-kriteria yang dipandang positif oleh masyarakat. Kriteria-kriteria itu
anatara lain :
·
Memiliki
kualifikasi akademis tentang Islam
·
Memiliki
konsistensi anatar amal dan ilmunya
·
Santun dan
lapang dada
·
Bersifat
pemberani
·
Tidak mengharap
pemberian orang ( ‘iffah )
·
Qana’ah atau
kaya hati
·
Kemampuan
berkomunikasi
·
Memiliki ilmu
bantu yang relevan
·
Memiliki rasa
percaya diri dan rendah hati
·
Tidak kikir ilmu
( kitman al-‘ilm )
·
Anggun
·
Selera tinggi
·
Sabar
·
Memiliki nilai
lebih.[6]
b. Materi Dakwah
yang Persuasif
Kekuatan
kata-kata ( tulisan ) dalam kaitannya dengan dakwah persuasif, yakni dengan
kata-kata yang dapat menjadi stimulasi yang merangsang respon psikologis mad’u,
terletak pada jenis-jenis kekuatan sebagai berikut :
·
Karena keindahan
bahasa seperti bait-bait syair atau puisi
·
Karena jelasnya
informasi
·
Karena logikanya
yang sangat kuat
·
Karena intonasi
suara yang berwibawa
·
Karena memberikan
harapan masa depan
·
Karena
memberikan peringatan yang mencekam
·
Karena ungkapan
yang penuh ibarat.
Secara
psikologis, bahasa mempunyai peran yang angat besar dalam mengendalikan
perilaku manusia. Bahasa ibarat remote
control yang dapat menyetel manusia menjadi tertawa, sedih, marah, lunglai,
semnagat dan sebagainya. Bahasa juga dapat digunakan untuk memasukan
gagasan-gagasan baru ke dalam pikiran manusia.
Sebagai
pesan, bahasa juga ada psikologinya, misalnya cara berkata seseorang, isyarat
tertentu, struktur bahasa yang digunakan dan sebagainya, dapat memberikan
maksud tertentu kepada lawan bicara. Jadi, dengan memperhatikan psikologi
pesan, bahasa dapat digunakan oleh da’i untuk mengatur, menggerakkan dan
mengendalikan prilaku masyarakat.
Al-Quran
memberikan istilah-istilah pesan yang persuasif :
1. Perkataan
yang membekas pada jiwa ( Qaulan Baligha )
Surat
an-Nisa ayat 63 mengintrodusir istilah qaulan baligha yang dapat diterjemahkan
dengan perkataan yang membekas pada jiwa.
Artinya :” mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah
kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. ( Q.S. an-Nisa : 63 )
Ayat tersebut berkenaan dengan orang
munafik yang dihadapan nabi berpura-pura baik, tapi di belakang meraka menyabot
dakwah nabi. Karakteristik orang munafik, seperti diterangkan oleh hadis Nabi
adalah berdusta jika berbicara, ingkar bila berjanji dan berkhianat bila diberi
kepercayaan. Pada karakteristik demikian, perkataan yang lemah lembut tidak
akan membekas kedalam jiwanya. Pesan dakwah yang tepat untuk orang munafik
bukan yang indah dan lembut tetapi yang baligh.
2. Perkataan
yang lemah lembut ( Qaulan Layyina )
Artinya
:” pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Q.S. Thaha : 43 – 44 )
Berhadapan
dengan penguasa yang tiran, al-Quran mengajarkan agar dakwah kepada mereka
haruslah bersifat sejuk dan lemah lembut, tidak kasar, tidak lantang. Perkataan
yang lantang kepada penguasa tiran dapat memancing respon yang lebih keras
dalam waktu yang spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk berdialog atau
berkomunikasi antara kedua belah pihak, da’i dan penguasa sebagai mad’u.
Jadi,
dakwah yang sejuk dan lembut ini secara persuasif cocok jika ditujukan kepada
mad’u yang menduduki kekuasaan yang peka terhadap kritik. Dengan ungkapan yang
lemah lembut maka teguran da’i diterima dengan senyum. Ia sadar bahwa dirinya
sedang menjadi objek nasihat atau teguran, tetapi karena lembut dan halusnya,
telinganya tidak sempat memerah, sebaliknya justru tergelitik hatinya sehingga
ia dapat sneyum-senyum sambil introspeksi.
3. Perkataan
yang ringan ( Qaulan Maisura )
Dalam
surat al-Isra ayat 28
Artinya :” dan jika kamu berpaling
dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka
katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas ( Q.S. al-Isra’ : 28 )
Lawan dari kata Qaulan maisura
adalah qaulan ma’sura yaitu perkataan yang sulit. Sebagai bahasa komunikasi,
qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, yang ringan, yang pantas,
yang tidak berliku-liku dan tidak bersayap.
Qaulan maisura atau perkataan yang
ringan ini biasanya relevan bagi kaum awam yang hidupnya masih direpotkan oleh
kebutuhan pokok : makan, minum serta tempat berteduh.
4. Perkataan
yang mulia ( Qaulan Karima )
Kalimat qaulan karima
disebut dalam al-Quran dalam ayat yang mengajarkan etika pergaulan manusia
kepada kedua orang tuanya yang sudah tua, seperti yang tersebut dalam surat
al-Isra ayat 23 :
Artinya :” dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapak mu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya
sampai berusia lanjut dalam pemeliharaan mu, maka sekali-kali jangan kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membantah mereka, dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. ( Q.S. al-Isra : 23 )
Dalam perspektif dakwah, maka term qaulan karima
diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk
kategori usia lanjut, atau dalam masyarakat kota barangkali adalah kelompok
pensiunan atau purnawirawan. Seorang da’i dlam berhubungan dengan lapisan mad’u
yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang
tua sendiri, yakni hormat dan tidak berkata kasar kepadanya.
5. Perkataan
yang benar ( Qaulan Sadida )
Term qaulan sadida
merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah agar dakwahnya persuasif.
Ditujukan kepada siapapun, pesan dakwah haruslah dnegan perkataan yang benar.
Term qaulan sadida disebut dua kali dalam al-Quran, yaitu dalam surat an-Nisa
ayat 9 dan al-Ahzab ayat 70. Yang
pertama berkaitan dengan hukum waris, dan yang kedualah yang lenih berhubungan
dengan pesan dakwah.
Artinya
:” hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang
yang menyakiti Musa, maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang
mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat
disisi Allah. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasulnya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. ( Q.S. al-Ahzab : 69
– 71 )
Dalam
ayat diatas, diingatkan agar kamu mukminin tidak melakukan apa yang dilakukan
oleh kaum Yahudi terhadap Nabinya, yaitu perbuatan memnyakiti Nabi Musa a.s.
perintah untuk berkata benar didahului oleh perintah bertaqwa dan pada ayat 71
Allah menjanjikan bahwa berkata benar yang dilandasi oleh ketakwaan itu akan
mengantar kepada perbaikan amal dan ampunan dari dosa-dosa, dan pada akhir ayat
tersebut ditegakan bahwakomitmen kepada Allah dan Rasul-Nya sudah merupakan
kemenangan pada tingkat awal.
Jadi,
modal moral seorang da’i yang paling utama adalah komitmennya kepada Allah dan
Rasul-Nya, kepada Al- Quran dan sunnah Rasul, dan kepada kebenaran universal.
Komitmen itu sendiri sudah memberikan nilai plus pada langkah pertama, terlepas
apakah dakwahnya direspon positif atau negatif oleh masyarakat.[7]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dakwah
merupakan bagian dari tugas setiap muslim, dalam beberapa ayat al-Quran bahwa
dakwah menujujalan Allah SWT hukumnya wajib. Kewajiban ini didasari perintah
melaksanakan dakwah disampaikan dengan bentuk fi’il amr, yaitu perintah secara
langsung sebagaimana yang terdapat dalam surat an- Nahl ayat 125.
Dakwah
persuasif adalah proses mempengaruhi mad’u dengan pendekatan psikologis,
sehingga mad’u mengikuti ajakan da’i tetapi merasa sedang melakukan sesuatu
atas kehendak sendiri.
Dalam
al-Quran disebutkan beberapa materi dakwah persuasif, yaitu perkataan yang
membekas di hati, perkataan yang sejuk dan lembut, perkataan yang ringan,
perkataan yang mulia dan perkataan yang benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin Zain, Dakwa Rasional, Banda Aceh
: PeNa, 2009
M. Munir, Metode Dakwah, Jakarta : Kencana , 2009
Achmad Mubarok,
Psikologi Dakwah, Jakatra : Pustaka Firdaus, 2002
[1] Arifin
Zain, Dakwa Rasional, Banda Aceh : PeNa, 2009. Hal : 1 - 5
[2] Arifin
Zain, Dakwa Rasional, Banda Aceh : PeNa, 2009. Hal : 6 - 10
[3] M.
Munir, Metode Dakwah, Jakarta : Kencana
, 2009. Hal : 6 - 19
[4] Achmad
Mubarok, Psikologi Dakwah, Jakatra : Pustaka Firdaus, 2002. Hal : 161 - 162
[5] Ibid.
Hal : 161
[6] Achmad
Mubarok, Psikologi Dakwah, Jakatra : Pustaka Firdaus, 2002. Hal : 162 - 181
[7] Achmad
Mubarok, Psikologi Dakwah, Jakatra : Pustaka Firdaus, 2002. Hal : 182 - 198